Tinjauan Pustaka Digital Era Governance

Definisi Digital Era Governance

Perkembangan paradigma administrasi publik pasca hegemoni New Public Management (NPM) ditandai oleh munculnya konsep Digital Era Governance (DEG) yang dikemukakan oleh Dunleavy, Margetts, Bastow, dan Tinkler (2006). Menurut (Dunleavy et al. 2006, 468), DEG merupakan kerangka tata kelola pemerintahan yang dibangun atas tiga elemen inti, yaitu : Pertama, reintegration menekankan pentingnya penggabungan kembali fungsi-fungsi pemerintahan yang sebelumnya terfragmentasi akibat praktik desentralisasi pada era NPM; Kedua, needs-based holism mengacu pada perancangan ulang layanan publik dengan menitikberatkan kebutuhan masyarakat sebagai pusat penyusunan kebijakan dan organisasi layanan; dan Ketiga, digitization menggambarkan transformasi menyeluruh birokrasi melalui pemanfaatan teknologi digital, mulai dari digitalisasi arsip, penggunaan internet, hingga sistem komunikasi elektronik (Dunleavy et al., 2006:469–471).

Menurut (Ravšelj et al. 2022, 2), Digital Era Governance (DEG) dipahami sebagai suatu konsep tata kelola publik yang berkembang sejak awal tahun 2000-an, yang berfokus pada pemanfaatan teknologi digital dalam mendesain ulang organisasi pemerintahan, penyediaan layanan publik, serta interaksi antara pemerintah dan masyarakat. DEG dipandang sebagai payung konseptual yang mencakup berbagai istilah lain seperti e-government, digital government, e-governance, dan smart governance.

(Tassabehji, Hackney, dan Popovič 2016, 223–36) mengemukakan bahwa Digital Era Governance adalah sebuah fenomena transformasional di sektor publik, di mana e-government yang makin matang berupaya mentransformasikan organisasi publik melalui digitalisasi, bukan saja dalam hal layanan, tetapi juga institusi dan kultur. DEG menurut mereka bukan hanya teknologi, melainkan bagaimana aktor institusional (terutama Chief Information Officers/CIO) bertindak sebagai institutional entrepreneurs, yang menginisiasi dan mempercepat perubahan institusi agar bisa mengadopsi dan menyesuaikan diri dengan kerangka kerja governance di era digital.

Indikator Digital Era Governance (DEG)

Digital Era Governance (DEG) merupakan paradigma tata kelola pemerintahan yang menekankan reintegrasi fungsi birokrasi, penyediaan layanan berbasis kebutuhan masyarakat, serta digitalisasi proses administrasi (Dunleavy et al., 2006:468–471). Agar konsep ini dapat dioperasionalisasi dalam penelitian, diperlukan indikator-indikator yang mencerminkan implementasinya.

  1. Reintegration

Reintegration dalam kerangka Digital Era Governance (DEG) merujuk pada proses penggabungan kembali fungsi-fungsi pemerintahan yang sebelumnya dipisahkan (fragmented) oleh logika disaggregation pada era New Public Management (NPM). Pada masa NPM, birokrasi publik sering dipecah menjadi unit-unit kecil, badan semi-otonom, atau agensi terpisah dengan tujuan meningkatkan efisiensi melalui mekanisme pasar dan kompetisi. Namun, Dunleavy et al. (2006:468) berargumen bahwa fragmentasi tersebut justru menimbulkan biaya koordinasi tinggi, tumpang tindih fungsi, dan kesulitan bagi warga dalam mengakses layanan.

Tujuan dari reintegration adalah untuk meningkatkan efisiensi administratif dengan cara mengurangi duplikasi fungsi serta memperkuat koordinasi antar unit pemerintahan agar layanan publik lebih konsisten. Upaya ini juga bertujuan menyederhanakan akses masyarakat melalui penerapan model one-stop service serta menekan biaya transaksi yang sering muncul akibat fragmentasi birokrasi. Secara praktis, reintegration dapat diindikasikan melalui penggabungan layanan lintas instansi ke dalam satu portal digital terpadu, penerapan pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) baik secara fisik maupun daring, interoperabilitas sistem informasi antar lembaga pemerintah untuk berbagi data secara efisien, serta koordinasi lintas sektor dalam perumusan kebijakan publik, seperti integrasi layanan kesehatan, perpajakan, dan administrasi kependudukan.

Beberapa negara telah berhasil mengimplementasikan konsep ini, misalnya Estonia dengan X-Road, yaitu platform digital nasional yang memungkinkan lembaga pemerintah, swasta, dan warga berbagi data secara aman dan terintegrasi. Indonesia melalui program Mal Pelayanan Publik (MPP) serta inisiatif Satu Data Indonesia juga tengah mendorong integrasi layanan lintas kementerian dan lembaga. Sementara itu, Inggris menerapkan portal digital tunggal Gov.uk yang menggantikan ratusan website lembaga pemerintah untuk menghadirkan layanan publik yang lebih sederhana dan terpusat.

2. Needs-based Holism

Dunleavy et al. (2006:469–470) mendefinisikan needs-based holism sebagai pendekatan penyediaan layanan publik yang berorientasi pada kebutuhan warga negara (citizen needs) alih-alih struktur departemental pemerintahan. Dalam kerangka ini, birokrasi publik tidak lagi menuntut masyarakat menyesuaikan diri dengan sistem yang terfragmentasi, tetapi justru menata ulang desain layanannya agar sesuai dengan konteks sosial, ekonomi, dan kultural masyarakat.

Tujuan dari needs-based holism adalah meningkatkan kualitas layanan publik dengan berorientasi pada kepuasan serta kebutuhan warga, sekaligus mengurangi kompleksitas administratif melalui penyajian layanan terintegrasi, misalnya dalam bentuk satu portal untuk berbagai kebutuhan. Pendekatan ini juga bertujuan memperluas aksesibilitas layanan bagi seluruh lapisan masyarakat serta mendorong terwujudnya co-production, di mana warga ikut serta dalam proses desain, evaluasi, dan inovasi layanan publik. Secara praktis, penerapan needs-based holism dapat dilihat dari adanya portal layanan terpadu yang berbasis kebutuhan masyarakat, bukan instansi, segmentasi layanan sesuai kelompok pengguna seperti UMKM, lansia, mahasiswa, maupun difabel, penggunaan customer journey mapping untuk menyesuaikan alur layanan dengan pengalaman warga, serta partisipasi aktif masyarakat melalui forum konsultasi digital, survei kepuasan, maupun mekanisme feedback online.

Implementasi model ini dapat ditemukan di berbagai negara, misalnya Inggris melalui Gov.uk yang menyusun layanan publik berdasarkan kategori kebutuhan masyarakat seperti menikah, memulai bisnis, atau pensiun; Estonia dengan prinsip once-only, di mana warga hanya perlu memberikan data pribadi satu kali untuk seluruh layanan publik; serta Indonesia melalui pengembangan Mal Pelayanan Publik (MPP) dan sistem aspirasi LAPOR! yang mengintegrasikan berbagai layanan lintas instansi.

3. Digitization

Digitization dalam kerangka Digital Era Governance (DEG) merujuk pada proses transformasi layanan publik melalui penggunaan teknologi digital yang memungkinkan layanan pemerintahan diberikan secara elektronik, otomatis, dan berbasis data. Dunleavy et al. (2006:470–472) menekankan bahwa digitalisasi bukan sekadar mengganti layanan manual menjadi online, melainkan sebuah reorganisasi mendasar terhadap proses kerja birokrasi agar lebih efisien, transparan, dan berorientasi pada masyarakat.

Tujuan utama digitization dalam tata kelola pemerintahan adalah meningkatkan efisiensi administratif dengan meminimalisir penggunaan kertas menuju paperless government, sekaligus memperluas aksesibilitas layanan publik melalui platform daring yang dapat diakses kapan saja dan di mana saja. Digitalisasi juga mendorong transparansi dan akuntabilitas melalui jejak digital yang terdokumentasi, serta memungkinkan penggunaan data sebagai basis kebijakan publik melalui analitik big data dan kecerdasan buatan.

Selain itu, proses layanan publik dapat ditingkatkan kualitasnya dengan mempercepat alur kerja dan mengurangi birokrasi berlapis. Indikator praktis dari digitization antara lain keberadaan portal e-government yang menyediakan berbagai layanan secara daring, otomatisasi administrasi publik seperti e-filing pajak, e-procurement, atau e-voting, integrasi basis data nasional di bidang kependudukan, kesehatan, dan pendidikan, penggunaan tanda tangan digital serta identitas elektronik (e-ID), hingga pemanfaatan teknologi baru seperti kecerdasan buatan, blockchain, dan Internet of Things (IoT) dalam tata kelola pemerintahan. Beberapa negara telah berhasil mengimplementasikan hal ini, misalnya Estonia dengan e-Residency dan sistem pemilu online pertama di dunia, Singapura melalui inisiatif Smart Nation berbasis data real-time, Indonesia dengan program Satu Data Indonesia dan aplikasi Digital ID di Dukcapil, serta Korea Selatan dengan Government 24, portal tunggal yang mengintegrasikan lebih dari 5.000 layanan publik.

4. Interaktivitas dan Partisipasi Digital (penguatan dari gelombang kedua DEG – Margetts & Dunleavy, 2013; Ravšelj et al., 2022)

Penguatan dari gelombang kedua Digital Era Governance menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat secara lebih aktif dalam proses pemerintahan digital. Hal ini diwujudkan melalui penyediaan platform partisipasi online yang memberi ruang bagi warga negara untuk menyampaikan aspirasi dan masukan, transparansi informasi publik melalui portal digital yang dapat diakses secara luas, serta keterlibatan masyarakat dalam fungsi pengawasan dan perumusan kebijakan digital. Dengan demikian, tata kelola pemerintahan tidak hanya lebih terbuka, tetapi juga semakin kolaboratif karena menghadirkan warga sebagai mitra dalam proses pengambilan keputusan.

5. Peran Institutional Entrepreneurs (dimensi institusional – Tassabehji et al., 2016)

Dalam dimensi institusional, peran institutional entrepreneurs sangat penting untuk mendorong transformasi digital pemerintahan. Mereka hadir melalui kepemimpinan digital, seperti peran Chief Information Officer (CIO) atau pejabat inovasi digital, yang menjadi motor penggerak arah kebijakan dan strategi teknologi. Selain itu, mereka berperan dalam memobilisasi komunitas, baik di dalam birokrasi maupun masyarakat luas, guna membangun dukungan terhadap agenda digitalisasi. Peran lainnya adalah menciptakan legitimasi kebijakan digital melalui narasi yang meyakinkan, komunikasi publik yang efektif, serta penyebaran kisah sukses implementasi, sehingga perubahan yang diinisiasi dapat diterima dan diadopsi secara lebih luas.

Daftar Pustaka :

Dunleavy, Patrick, Helen Margetts, Simon Bastow, dan Jane Tinkler. 2006. “New public management is dead—long live digital-era governance.” Journal of Public Administration Research and Theory 16(3): 467–94.

Ravšelj, Dejan, Lan Umek, Ljupčo Todorovski, dan Aleksander Aristovnik. 2022. “A Review of Digital Era Governance Research in the First Two Decades: A Bibliometric Study.” Future Internet 14(5): 126. doi:10.3390/fi14050126.

Tassabehji, Rana, Ray Hackney, dan Aleš Popovič. 2016. “Emergent Digital Era Governance: Enacting the role of the ‘institutional entrepreneur’ in transformational change.” Government Information Quarterly 33(2): 223–36. doi:10.1016/j.giq.2016.04.003.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *