Restorative justice atau keadilan restoratif merupakan pendekatan alternatif dalam sistem peradilan pidana yang menitikberatkan pada proses pemulihan antara pelaku, korban, dan komunitas yang terdampak oleh tindak pidana. Pendekatan ini menekankan dialog, tanggung jawab, dan pemulihan hubungan sosial, sebagai lawan dari pendekatan retributif yang berfokus pada penghukuman. Dalam dua dekade terakhir, restorative justice telah menjadi topik yang semakin menonjol dalam kajian akademik, kebijakan publik, serta praktik hukum di berbagai negara.
Melihat tingginya perhatian terhadap tema ini, penting untuk melakukan pemetaan terhadap perkembangan riset terkait guna mengetahui bagaimana tren penelitian berkembang, siapa saja aktor-aktor utama dalam bidang ini, serta topik-topik apa yang menjadi fokus utama. Untuk itu, studi ini melakukan sebuah analisis bibliometrik terhadap literatur ilmiah bertema restorative justice yang terindeks dalam database Scopus.
Data dikumpulkan dengan bantuan perangkat lunak Publish or Perish, yang digunakan untuk mengekstraksi 200 dokumen awal berdasarkan kata kunci “restorative justice” pada rentang tahun 2015-2025. Selanjutnya, dilakukan proses seleksi berdasarkan dua kriteria utama: relevansi isi dengan tema utama dan tingginya jumlah sitasi. Setelah melalui proses seleksi tersebut, diperoleh 144 dokumen yang dinilai paling representatif dan berdampak dalam diskursus akademik mengenai restorative justice.
Network Visualization Restorative Justice

Hasil analisis bibliometrik yang divisualisasikan melalui perangkat VOSviewer memperlihatkan struktur keterkaitan antar kata kunci (keyword) dalam publikasi ilmiah bertema restorative justice. Dalam peta jaringan yang dihasilkan, kata kunci “restorative justice” (ID 326) muncul sebagai titik sentral dengan frekuensi kemunculan (occurrences) sebanyak 110 kali dan kekuatan hubungan total (total link strength) sebesar 126, menjadikannya pusat gravitasi dalam jaringan konseptual ini. Ukuran node yang besar dan posisinya yang dominan di tengah jaringan menandakan bahwa konsep restorative justice menjadi istilah yang paling banyak digunakan dan paling banyak berelasi dengan kata kunci lain di dalam literatur.
Peta jaringan ini menunjukkan adanya koneksi konseptual antar kata kunci yang ditandai oleh garis lengkung yang menghubungkan satu node dengan node lainnya. Garis-garis ini merepresentasikan co-occurrence atau kemunculan bersamaan dalam dokumen yang sama, yang menjadi dasar dalam pengelompokan (clustering) tema. Hasil visualisasi memperlihatkan bahwa literatur tentang restorative justice membentuk beberapa klaster yang saling terhubung namun memiliki fokus kajian yang relatif berbeda.
Klaster Tematik Utama
Terdapat enam klaster utama yang dapat diidentifikasi berdasarkan warna yang berbeda, masing-masing mencerminkan fokus tematik tertentu dalam penelitian restorative justice.
Klaster 1 (Merah): Kekerasan, Gender, dan Disiplin Sekolah; Klaster ini berisi kata kunci seperti gender-based violence, intimate partner violence, school discipline, dan sexual violence. Fokusnya terletak pada penggunaan restorative justice sebagai pendekatan alternatif dalam menangani kekerasan interpersonal, terutama yang berbasis gender, serta penerapannya dalam konteks pendidikan. Hal ini menandakan pergeseran perhatian dari sekadar sistem peradilan formal ke pendekatan yang lebih humanistik dan kontekstual dalam menangani kekerasan.
Klaster 2 (Hijau): Pendidikan, Sosial, dan Keadilan Rasial; Dengan kata kunci seperti restorative practices, school-to-prison pipeline, dan critical race theory, klaster ini menunjukkan pentingnya restorative justice dalam ranah pendidikan dan keadilan sosial. Penelitian dalam klaster ini banyak menyoroti peran praktik restoratif dalam mengurangi kriminalisasi siswa dan mengatasi ketimpangan struktural yang berbasis rasial.
Klaster 3 (Biru): Pemuda dan Keadilan Anak; Klaster ini berfokus pada sistem peradilan anak dan remaja, ditandai oleh kata kunci seperti juvenile justice, youth justice, dan youth empowerment. Penekanan utama berada pada pemberdayaan, rehabilitasi, dan pengalihan dari sistem hukuman ke proses restoratif, menunjukkan kepedulian terhadap pembangunan karakter dan masa depan anak.
Klaster 4 (Oranye): Rehabilitasi, Rekonsiliasi, dan Reformasi Sistem Hukum; Mengandung kata kunci seperti criminal justice reform, offender rehabilitation, dan procedural justice, klaster ini mencerminkan perdebatan dan dorongan untuk reformasi sistem hukum pidana yang lebih responsif terhadap kebutuhan korban dan pelaku. Tema rekonsiliasi, pengampunan, dan transformasi perilaku menjadi aspek penting dalam diskursus ini.
Klaster 5 (Ungu): Akuntabilitas dan Etika Sosial; Kata kunci seperti accountability dan offender accountability menunjukkan perhatian terhadap dimensi etika dalam restorative justice, di mana pelaku tidak hanya dilibatkan dalam proses pemulihan, tetapi juga diminta untuk secara aktif bertanggung jawab atas dampak tindakannya.
Klaster 6 (Hitam): Konteks Global dan Religius; Klaster ini relatif lebih kecil tetapi signifikan karena menunjukkan konteks penerapan restorative justice dalam kerangka budaya dan sistem hukum yang berbeda, seperti Islamic law, China, dan trauma-informed care. Ini menunjukkan bahwa pendekatan restoratif mulai meluas ke berbagai wilayah hukum dan kebudayaan dengan interpretasi dan praktik yang bervariasi.
Kata kunci “restorative justice” sebagai simpul utama memiliki koneksi terkuat dengan istilah-istilah seperti criminal justice reform, school discipline, gender-based violence, dan offender rehabilitation. Hal ini mengindikasikan bahwa literatur saat ini secara aktif mengeksplorasi transisi dari sistem penghukuman konvensional ke pendekatan yang lebih memulihkan dan partisipatif. Selain itu, keterhubungan dengan victim satisfaction memperlihatkan bahwa pemulihan relasional antara korban dan pelaku menjadi dimensi penting dalam praktik restoratif.
Polanya menunjukkan bahwa restorative justice kini tidak lagi dipandang semata-mata sebagai solusi dalam peradilan pidana, tetapi telah mengalami ekspansi ke berbagai ranah sosial seperti pendidikan, kesehatan mental, keadilan rasial, dan kebijakan publik. Tingginya interdisiplinaritas memperlihatkan bahwa pendekatan ini berada pada titik temu antara hukum, sosiologi, psikologi, pendidikan, dan studi gender.
Dari hasil pemetaan ini, terlihat bahwa penelitian restorative justice sedang mengalami pergeseran paradigma dari fokus retributif ke arah pemulihan dan rekonsiliasi. Tema-tema yang muncul mencerminkan pencarian model keadilan yang lebih manusiawi, partisipatif, dan berkelanjutan. Peta jaringan ini juga menjadi dasar penting untuk mengidentifikasi celah penelitian (research gap) yang dapat dijelajahi lebih lanjut, seperti penerapan keadilan restoratif dalam konteks hukum adat, lingkungan hidup, atau sistem hybrid antara hukum negara dan norma komunitas lokal.
Overlay Visualization Restorative Justice 
Peta overlay visualization yang dihasilkan melalui analisis bibliometrik memberikan gambaran kronologis mengenai perkembangan tema penelitian dalam kajian restorative justice. Warna pada visualisasi tersebut merepresentasikan tahun rata-rata kemunculan kata kunci, sehingga memungkinkan untuk menelusuri bagaimana dinamika dan fokus penelitian berubah dari waktu ke waktu. Warna biru tua hingga hijau gelap mengindikasikan topik-topik lama (sekitar 2020–2021), sementara hijau muda hingga kuning terang menunjukkan topik yang lebih baru dan terkini (2022–2023).
Secara umum, kata kunci “restorative justice” tetap menjadi pusat jaringan sepanjang periode observasi, menandakan konsistensi posisi sentral konsep ini dalam seluruh diskursus akademik. Namun, cabang-cabang tematik yang mengelilinginya menunjukkan pergeseran warna, yang secara visual merefleksikan evolusi fokus kajian dari pendekatan legalistik menuju pendekatan yang lebih kontekstual dan transdisipliner.
🟦 Topik Lama (2020–2021): Fondasi Konseptual dan Aplikasi Klasik
Pada fase awal ini, penelitian masih sangat berakar pada sistem peradilan pidana dan pendidikan, dengan fokus pada pengembangan konseptual dan evaluasi efektivitas penerapan keadilan restoratif sebagai alternatif dari pendekatan retributif. Kata kunci seperti school discipline, juvenile justice, retributive justice, procedural justice, dan criminal justice reform mendominasi. Literatur dalam periode ini cenderung membahas perbandingan sistemik antara keadilan retributif dan restoratif, serta menilai efektivitas penerapan restoratif di sekolah dan dalam sistem peradilan anak. Periode ini berperan sebagai landasan normatif dan metodologis bagi kajian-kajian lanjutan.
🟩 Topik Transisi (2021–2022): Ekspansi ke Isu Sosial dan Identitas Kolektif
Memasuki fase transisi, terjadi pergeseran arah penelitian dari sistem hukum formal ke isu-isu sosial yang lebih luas, sebagaimana terlihat dari kemunculan kata kunci seperti gender-based violence, intimate partner violence, online harm, social justice, critical race theory, dan school-to-prison pipeline. Topik-topik ini mulai mengeksplorasi restorative justice sebagai alat untuk mengatasi ketidakadilan struktural, kekerasan berbasis gender, serta diskriminasi rasial dalam konteks pendidikan dan komunitas. Warna hijau sedang dalam peta menunjukkan bahwa tema-tema ini mulai mengemuka pada pertengahan periode studi, menandakan perluasan cakupan dan pendekatan interdisipliner dalam literatur.
💛 Topik Baru (2022–2023): Inovasi Kontekstual dan Spiritualitas Sosial
Topik-topik terkini, yang ditunjukkan dengan warna hijau muda hingga kuning terang, merepresentasikan fase inovasi dan kontekstualisasi global dalam pengembangan wacana restorative justice. Kata kunci seperti Islamic law, justice, desistance, trauma-informed care, offender rehabilitation, dan accessibility menunjukkan munculnya dimensi baru yang menekankan pada nilai budaya, agama, dan keberlanjutan manusia. Dalam fase ini, keadilan restoratif mulai dikaitkan dengan:
- Nilai-nilai religius dan hukum lokal (misalnya melalui Islamic law)
- Pemulihan trauma dan intervensi berbasis kesehatan mental (trauma-informed care)
- Keadilan ekologis dan tanggapan terhadap krisis lingkungan (implisit melalui isu environmental restorative justice)
- Transformasi digital dan tantangan baru seperti kekerasan daring (online harm)
Perkembangan ini menandai transisi dari restorative justice sebagai metode penyelesaian konflik ke arah filosofi sosial yang lebih luas dan kontekstual, yang dapat diadaptasi ke berbagai tantangan kontemporer.
Jika ditelusuri secara kronologis, terlihat adanya pola perkembangan yang bergerak dari fokus awal pada justice reform dan school discipline (2020), ke arah social justice dan gender-based violence (2021–2022), lalu menuju isu-isu inovatif seperti Islamic law, trauma, dan environmental justice (2023). Ini menunjukkan bahwa pemahaman terhadap restorative justice telah mengalami transformasi paradigma, dari pendekatan prosedural menuju pendekatan nilai dan keadilan sosial.
Kehadiran kata kunci seperti “Islamic law” dan “justice” pada titik warna kuning cerah di visualisasi juga menjadi indikasi bahwa tema-tema ini adalah tren yang masih baru namun berpotensi berkembang, khususnya dalam konteks global dan masyarakat dengan latar belakang keagamaan yang kuat, termasuk Asia dan dunia Islam.
nalisis overlay visualization memperlihatkan bahwa diskursus restorative justice telah berkembang secara dinamis dan multidimensional. Awalnya terkonsentrasi pada transformasi sistem peradilan formal, kini restorative justice telah berekspansi menjadi pendekatan interdisipliner yang menyentuh isu-isu sosial, gender, kesehatan mental, dan keberlanjutan. Tren terbaru menunjukkan peningkatan perhatian terhadap nilai spiritual, etika sosial, dan respons terhadap tantangan global kontemporer, menandai bahwa restorative justice telah berevolusi dari sekadar metode keadilan menjadi falsafah sosial dan gerakan global menuju keadilan yang lebih manusiawi, inklusif, dan kontekstual.
Density Visualization Restorative Justice 
Peta density visualization pada analisis bibliometrik tema Restorative Justice menggambarkan sebaran intensitas dan kepadatan penelitian berdasarkan frekuensi dan keterkaitan antar kata kunci. Warna pada peta merepresentasikan tingkat kepadatan: warna kuning terang menunjukkan area dengan konsentrasi tinggi dari istilah-istilah yang sering muncul dan saling terhubung, sedangkan warna hijau muda hingga biru tua menunjukkan tingkat kepadatan menengah hingga rendah. Dari visualisasi ini, dapat diamati bahwa area dengan warna kuning terang terkonsentrasi di sekitar kata kunci seperti restorative justice, criminal justice reform, recidivism, school discipline, dan gender-based violence. Ini menandakan bahwa tema-tema tersebut merupakan inti dari diskursus global mengenai keadilan restoratif. Penelitian pada area ini umumnya berfokus pada transformasi sistem peradilan pidana ke arah pendekatan restoratif, penerapan dalam konteks pendidikan untuk mengurangi jalur sekolah ke penjara (school-to-prison pipeline), serta penanganan kasus kekerasan berbasis gender dengan pendekatan pemulihan relasi sosial.
Sementara itu, area dengan kepadatan menengah yang ditandai dengan warna hijau ke hijau muda mencakup kata kunci seperti youth justice, juvenile justice, victim satisfaction, offender rehabilitation, intimate partner violence, social justice, dan critical race theory. Tema-tema ini menunjukkan arah pengembangan literatur keadilan restoratif yang semakin interdisipliner, mencakup aspek sosial, psikologis, dan pendidikan. Fokusnya bergeser dari sistem hukum formal menuju pendekatan yang lebih menekankan keseimbangan antara pemulihan korban dan tanggung jawab pelaku, serta keadilan sosial dan kesetaraan rasial. Di sisi lain, area dengan kepadatan rendah yang ditunjukkan oleh warna biru tua atau biru kehijauan menandai topik-topik yang masih jarang dijelajahi dalam literatur, seperti accountability, online harm, trauma-informed care, Islamic law, conflict resolution, higher education, accessibility, dan China. Tema-tema ini merepresentasikan frontier atau batas pengembangan baru dalam penelitian keadilan restoratif. Misalnya, Islamic law membuka kemungkinan integrasi nilai-nilai keadilan restoratif dengan prinsip hukum Islam dan konteks budaya lokal, sementara online harm mencerminkan kebutuhan akan pendekatan restoratif dalam menangani kejahatan siber dan perundungan digital.
Secara keseluruhan, pola visual dalam peta menunjukkan struktur yang konsentris, dengan inti konseptual yang kuat di pusat (berwarna kuning terang), yang kemudian menyebar ke arah tema-tema baru di pinggiran. Ini menunjukkan bahwa diskursus restorative justice telah berkembang dari pendekatan yang berakar pada reformasi sistem hukum pidana dan pendidikan, menuju pendekatan yang lebih luas, kontekstual, dan transdisipliner. Dengan demikian, arah masa depan penelitian diperkirakan akan bergerak ke arah integrasi antara disiplin hukum, psikologi, pendidikan, dan nilai-nilai spiritual atau kultural. Selain itu, keadilan restoratif juga diproyeksikan semakin adaptif terhadap tantangan kontemporer seperti digitalisasi, trauma kolektif, dan keberagaman sosial. Peta ini mempertegas bahwa restorative justice bukan hanya sebuah metode penyelesaian konflik, tetapi juga sebuah paradigma keadilan yang lebih manusiawi, partisipatif, dan kontekstual, menawarkan ruang pemulihan tidak hanya bagi pelaku dan korban, tetapi juga bagi komunitas secara keseluruhan.
Celah PenelitianRestorative Justice
Meskipun tema restorative justice telah banyak diteliti dalam konteks hukum pidana, pendidikan, dan kekerasan interpersonal, hasil analisis bibliometrik terhadap peta-peta VOSviewer menunjukkan masih adanya sejumlah celah penelitian (research gaps) yang signifikan, baik dari segi konseptual, empiris, maupun metodologis. Secara konseptual, literatur yang ada masih didominasi oleh kerangka Barat yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Zehr, Umbreit, dan Barth. Model-model tersebut belum sepenuhnya merefleksikan konteks budaya dan nilai-nilai spiritual di masyarakat non-Barat. Misalnya, belum banyak kajian yang mengintegrasikan prinsip keadilan sosial dan keagamaan, seperti nilai-nilai dalam Islamic law atau praktik lokal seperti musyawarah, islah, dan mekanisme perdamaian adat di Asia Tenggara. Selain itu, isu-isu kontemporer seperti online harm dan environmental restorative justice baru muncul sebagai topik-topik yang masih marjinal (terlihat dari posisi pinggiran dan warna biru-kehijauan pada peta density), sehingga belum ada teori yang mapan yang menghubungkan keadilan restoratif dengan etika digital, tanggung jawab sosial media, maupun keadilan ekologis.
Dari sisi empiris, terlihat adanya dominasi konteks penelitian yang berasal dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Inggris, dan Australia. Studi-studi kontekstual dari negara berkembang, khususnya kawasan Global South seperti Indonesia, Malaysia, atau Afrika Selatan, masih sangat terbatas, padahal lingkungan sosial dan nilai-nilai religius di negara-negara ini sangat relevan untuk pengembangan model keadilan restoratif berbasis lokal. Di samping itu, sebagian besar penelitian yang ada bersifat deskriptif dan belum banyak yang bersifat evaluatif atau longitudinal. Hal ini mengakibatkan minimnya pemahaman mendalam mengenai efektivitas jangka panjang restorative justice terhadap penurunan recidivism, peningkatan kepuasan korban, atau perubahan perilaku hukum dalam masyarakat. Pendekatan yang dominan masih kualitatif dan naratif, sementara pengambilan kebijakan berbasis bukti (evidence-based practice) menuntut data kuantitatif yang kuat dan dapat diuji secara statistik.
Sementara itu, dari aspek metodologis, pendekatan interdisipliner dalam studi restorative justice masih sangat terbatas. Sebagian besar riset masih dilakukan secara sektoral, hanya berfokus pada bidang hukum atau pendidikan, tanpa mengintegrasikan perspektif dari psikologi (seperti trauma-informed care), sosiologi (terkait komunitas dan akuntabilitas sosial), maupun etika spiritual dan agama. Selain itu, eksplorasi metode digital dan teknologi masih sangat jarang ditemukan. Hampir tidak ada studi yang mengkaji penggunaan platform daring untuk restorative conferencing, dialog virtual antara korban dan pelaku, atau aplikasi digital yang dirancang khusus untuk memediasi dan merekonsiliasi konflik secara restoratif. Padahal, di era digital dan pascapandemi, inovasi metode ini menjadi sangat relevan. Dengan demikian, ketiga jenis gap ini, konseptual, empiris, dan metodologis, menunjukkan bahwa meskipun restorative justice telah menjadi topik penelitian yang mapan, masih terbuka ruang luas untuk kontribusi ilmiah baru yang lebih kontekstual, interdisipliner, dan adaptif terhadap tantangan zaman.
Novelty Kebaharuan Restorative Justice
Berdasarkan pemetaan celah konseptual, empiris, dan metodologis dalam kajian restorative justice, sejumlah kebaruan ilmiah (novelty) dapat dikembangkan untuk memperkaya pendekatan dan kontribusi keilmuan di bidang ini. Pertama, muncul peluang untuk merumuskan model keadilan restoratif yang berbasis nilai-nilai Islam dan budaya lokal. Pendekatan ini dapat mengintegrasikan prinsip-prinsip seperti islah, musyawarah mufakat, dan spirit rahmatan lil ‘alamin, yang berorientasi pada pemulihan, pengampunan, dan keseimbangan sosial. Model ini berpotensi menjadi teori baru dalam context-based restorative justice yang lebih kontekstual dengan norma komunitas dan spiritualitas masyarakat non-Barat. Kedua, dalam menghadapi dinamika masyarakat digital, pengembangan Digital Restorative Justice menjadi sangat relevan. Kajian ini mencakup penerapan keadilan restoratif pada kasus perundungan daring, ujaran kebencian, hingga pelanggaran privasi di ruang maya, serta eksplorasi metode mediasi virtual dan online victim–offender dialogue sebagai bentuk adaptasi proses restoratif di era teknologi informasi.
Ketiga, integrasi pendekatan psikologi trauma dalam praktik keadilan restoratif juga menawarkan kebaruan konseptual dan praktis. Trauma-informed restorative practice menekankan pentingnya empati, penyembuhan emosional, dan pemulihan sosial bagi korban dan pelaku, melampaui tujuan penyelesaian hukum semata. Ini menciptakan model keadilan restoratif yang berorientasi pada kesejahteraan psikososial dan memperkuat aspek humanistik dalam proses keadilan. Keempat, isu lingkungan hidup dapat menjadi ruang baru bagi perluasan konsep restorative justice melalui pendekatan eco-restorative justice. Model ini memfokuskan pada pemulihan ekosistem dan komunitas terdampak dalam konteks pelanggaran lingkungan seperti deforestasi, pencemaran, atau pertambangan ilegal, dengan menempatkan alam sebagai korban kolektif yang juga perlu dipulihkan. Kelima, aspek evaluatif dan berbasis bukti (evidence-based) juga memerlukan perhatian lebih dalam pengembangan penelitian ke depan. Pengembangan indikator dampak dan impact assessment terhadap kebijakan restorative justice – terutama dalam konteks sistem peradilan anak di negara-negara berkembang – sangat penting untuk menilai efektivitas program restoratif terhadap pengurangan recidivism, kepuasan korban, dan pemberdayaan sosial.
Dengan demikian, arah pengembangan penelitian restorative justice ke depan dapat disintesiskan dalam lima dimensi kebaruan: teoretis, empiris, metodologis, teknologi, dan ekologis. Di tingkat teoretis, integrasi nilai-nilai Islam dan budaya lokal dapat membentuk kerangka baru contextual restorative justice. Secara empiris, evaluasi kebijakan di negara-negara Global South dapat memperluas bukti penerapan yang relevan secara kontekstual. Dari sisi metodologis, pendekatan interdisipliner yang menggabungkan hukum, psikologi, sosiologi, dan agama membuka peluang lahirnya model riset yang lebih komprehensif. Dalam aspek teknologi, munculnya digital restorative justice menandai adaptasi penting terhadap dunia yang semakin terdigitalisasi. Sementara itu, pada ranah lingkungan, konsep eco-restorative justice memberikan kontribusi terhadap keadilan berkelanjutan dan pemulihan ekologi. Oleh karena itu, meskipun kajian restorative justice telah matang dalam aspek hukum dan sosial, celah-celah yang teridentifikasi menunjukkan potensi besar untuk mengembangkan model baru yang lebih adaptif, transformatif, dan inklusif terhadap dinamika masyarakat kontemporer.
download file pdf disini



mantappp