Ijtihad merupakan konsep sentral dalam khazanah hukum Islam yang berfungsi sebagai mekanisme dinamis untuk merespons perubahan zaman melalui interpretasi hukum berbasis metodologi ushul fiqh. Dalam beberapa dekade terakhir, topik ijtihad tidak hanya dipahami dalam konteks tradisional, seperti fatwa, fiqh, dan maqashid al-shari’ah, tetapi juga mengalami perluasan makna dalam merespons tantangan sosial, politik, dan teknologi kontemporer. Perkembangan ini menandai pentingnya melakukan pemetaan ilmiah secara sistematis guna mengidentifikasi tren, arah, serta celah penelitian dalam studi ijtihad.
Analisis bibliometrik menjadi pendekatan yang relevan untuk memetakan lanskap keilmuan tersebut. Data untuk analisis bibliometrik ini diperoleh dari database Scopus dengan menggunakan perangkat bantu Publish or Perish. Proses pengambilan data difokuskan pada dokumen-dokumen jurnal ilmiah yang memuat kata kunci ijtihad, dalam rentang waktu sepuluh tahun terakhir, yaitu dari tahun 2015 hingga 2025. Hasil penelusuran awal menghasilkan sebanyak 200 dokumen yang mencakup beragam publikasi dalam bentuk artikel, review, dan prosiding.
Selanjutnya, dilakukan proses penyaringan dengan mempertimbangkan dua kriteria utama: relevansi topik dan jumlah sitasi. Dokumen yang dipilih adalah yang secara substantif membahas tema ijtihad dan memiliki pengaruh dalam literatur melalui tingkat sitasi yang tinggi. Dari proses seleksi ini, akhirnya terpilih sebanyak 70 dokumen paling relevan dan signifikan untuk dianalisis lebih lanjut.
Dokumen terpilih kemudian dianalisis menggunakan perangkat VOSviewer untuk menghasilkan berbagai bentuk visualisasi bibliometrik, seperti peta jejaring (network visualization), peta perkembangan temporal (overlay visualization), dan peta kepadatan tema (density visualization). Hasil visualisasi ini memberikan gambaran mengenai struktur tematik, hubungan antarkonsep, serta tren perkembangan penelitian ijtihad dalam dekade terakhir. Analisis ini menjadi dasar penting untuk memahami arah perkembangan keilmuan serta mengidentifikasi peluang kebaruan dalam studi ijtihad kontemporer.
Network Visualization Ijtihad

Hasil network visualization menunjukkan bahwa “ijtihad” menempati posisi sebagai node utama dalam peta jejaring, dengan 117 koneksi (link), total strength 131, dan 33 kali kemunculan (occurrences). Posisi ini menandakan bahwa ijtihad adalah konsep kunci yang tidak hanya dominan secara frekuensi, tetapi juga memiliki tingkat keterhubungan yang tinggi dengan berbagai istilah lainnya. Ini menjadikan ijtihad sebagai simpul sentral yang mengikat wacana klasik dan kontemporer dalam studi keislaman.
Dalam visualisasi jejaring (network visualization) hasil analisis bibliometrik, kata kunci ijtihad tampil sebagai simpul (node) terbesar sekaligus pusat utama yang menghubungkan berbagai konsep penting, baik dari tradisi klasik maupun wacana kontemporer. Posisi sentral ini menandakan bahwa ijtihad merupakan titik temu dari beragam diskursus ilmiah yang saling terkait lintas bidang.
Secara struktural, jejaring ini membentuk beberapa kluster tematik yang menunjukkan arah diversifikasi penelitian. Kluster pertama berisi tema-tema klasik dalam bidang fiqh dan ushul fiqh, seperti fatwa, fiqh, maqashid al-shari’ah, dan dalil zanni. Kluster ini menegaskan dominasi pendekatan metodologis dalam hukum Islam sebagai basis normatif ijtihad. Kluster kedua mencerminkan keterlibatan ijtihad dalam isu-isu kontemporer, seperti COVID-19, perubahan iklim (climate change), humanitarian issues, serta bidang hukum dan ekonomi digital seperti family law dan electronic commerce. Hal ini menunjukkan bahwa ijtihad semakin diposisikan sebagai instrumen responsif terhadap problem modern.
Kluster ketiga mengarah pada gender dan feminisme Islam, dengan kemunculan istilah seperti women’s ijtihad, islamic feminism, dan womanhood. Ini merepresentasikan tumbuhnya literatur yang menggunakan pendekatan ijtihad untuk membahas isu kesetaraan dan peran perempuan dalam Islam. Sementara itu, kluster keempat menyoroti keterkaitan antara ijtihad dan teknologi mutakhir, termasuk istilah seperti generative AI, authority of AI, dan AI hallucination, yang menggambarkan mulai masuknya diskursus digital dan kecerdasan buatan ke dalam kerangka ijtihad. Terakhir, terdapat kluster yang mencerminkan konteks lokal dan global, seperti fiqh nusantara, pesantren, Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama, yang menampilkan praktik ijtihad dalam konteks keislaman Indonesia serta keterkaitannya dengan dinamika Islam global.
Dengan demikian, peta jejaring ini memperlihatkan bahwa kajian ijtihad tidak lagi terbatas pada paradigma hukum Islam tradisional, melainkan telah berkembang menjadi medan kajian yang multidimensi dan lintas isu, mulai dari persoalan teologis, sosial, hingga tantangan teknologi dan ekologi masa kini.
Overlay Visualization Ijtihad

Dalam visualisasi overlay (overlay visualization), dimensi temporal ditambahkan ke dalam analisis bibliometrik guna mengamati evolusi topik penelitian ijtihad dari waktu ke waktu. Warna pada setiap node dalam peta ini merepresentasikan rata-rata tahun kemunculan istilah dalam publikasi ilmiah, sehingga memungkinkan untuk menelusuri tren perkembangan diskursus secara kronologis. Dari hasil visualisasi, terlihat bahwa penelitian bertema ijtihad mengalami pergeseran signifikan dalam satu dekade terakhir, dari kajian metodologis klasik menuju isu-isu kontemporer yang lebih kompleks dan lintas disiplin.
Pada periode awal (2015–2017), yang ditandai dengan warna biru hingga ungu, penelitian masih didominasi oleh istilah-istilah klasik seperti ijtihadi tafsir, quranic hermeneutics, taqlid, dan ushul fiqh. Fokus pada masa ini cenderung berputar di sekitar metodologi tradisional dan perdebatan tekstual dalam kerangka hukum Islam.
Namun, mulai tahun 2018 hingga 2020 (warna hijau), muncul pergeseran arah dengan masuknya istilah seperti maqasid al-shariah, interdisciplinary, islamic economics, dan reconstruction of fiqh. Kemunculan istilah-istilah ini mencerminkan upaya rekonstruksi dan reinterpretasi ijtihad dengan pendekatan yang lebih interdisipliner serta relevan dengan konteks sosial-ekonomi modern.
Transformasi paling mencolok terjadi dalam periode mutakhir (2021–2025), yang ditandai dengan warna kuning hingga terang. Pada fase ini, ijtihad mulai terhubung erat dengan tema digitalisasi dan kecerdasan buatan, seperti generative AI, transparent AI, authority of AI, dan AI hallucination, menandakan upaya konseptual untuk menanggapi tantangan epistemologis era digital. Selain itu, istilah terkait isu global dan kemanusiaan seperti covid-19, climate change, dan humanitarian issues juga mulai masuk dalam ranah diskursus ijtihad.
Di sisi lain, tema sosial dan gender mendapatkan perhatian yang semakin besar, terlihat dari kemunculan istilah seperti women’s ijtihad, islamic feminism, queer muslims, dan justice. Tak kalah penting, muncul pula istilah seperti fiqh peradaban, contemporary fiqh, progressive law, dan academic freedom yang mencerminkan dorongan untuk mereformulasi fiqh dalam kerangka yang lebih kontekstual dan progresif.
Secara keseluruhan, visualisasi ini memperlihatkan bahwa kajian ijtihad tidak lagi statis dalam wilayah hukum klasik, melainkan terus berkembang mengikuti dinamika zaman. Overlay map ini mengindikasikan adanya transformasi tematik dari pendekatan normatif tradisional menuju keterlibatan aktif dalam isu-isu global, digital, dan sosial kontemporer. Ini menandakan bahwa ijtihad tetap relevan sebagai instrumen intelektual Islam yang adaptif dalam menjawab tantangan zaman modern.
Density Visualization Ijtihad

Dalam visualisasi kepadatan (density visualization) dari analisis bibliometrik topik ijtihad, setiap node divisualisasikan berdasarkan intensitas atau frekuensi kemunculannya dalam literatur ilmiah. Warna pada peta menggambarkan tingkat kepadatan topik: kuning terang menunjukkan zona dengan kepadatan tinggi, sementara hijau hingga biru-ungu menandakan area dengan intensitas yang menurun. Pemetaan ini memberikan gambaran jelas mengenai sebaran fokus dan intensitas riset dalam kajian ijtihad satu dekade terakhir.
Pada zona paling padat (warna kuning terang), terdapat istilah-istilah sentral seperti ijtihad, fatwa, islamic law, ushul fiqh, dan maqashid al-shari’ah. Area ini menunjukkan bahwa kajian ijtihad masih sangat terkonsentrasi pada ranah hukum Islam klasik, terutama dalam konteks metodologi dan dasar-dasar normatif. Literatur di zona ini mendominasi dan menjadi landasan utama dalam wacana keilmuan seputar ijtihad.
Zona kepadatannya sedang (warna hijau) menampung istilah yang sudah cukup berkembang tetapi lebih spesifik, seperti covid-19, environment, islamic feminism, women’s ijtihad, pesantren, dan fiqh nusantara. Topik-topik ini merefleksikan perluasan studi ijtihad ke ranah yang lebih kontekstual, baik dalam menjawab persoalan global seperti pandemi dan lingkungan, maupun dalam memperkuat narasi lokal seperti praktik ijtihad di pesantren dan komunitas Muslim Indonesia. Meski tidak sepadat kajian klasik, topik-topik ini menunjukkan peningkatan minat dan relevansi.
Sementara itu, zona berkepadatan rendah (warna biru–ungu) terdiri dari istilah yang relatif baru muncul dalam wacana ijtihad, seperti generative AI, transparent AI, authority of AI, queer muslims, secularism, dan sexual diversity. Tema-tema ini masih tergolong sebagai area penelitian yang baru dan belum banyak dieksplorasi, meskipun sangat potensial untuk pengembangan di masa mendatang. Rendahnya kepadatan menunjukkan masih terbatasnya publikasi yang membahas keterkaitan ijtihad dengan isu-isu digital, gender non-konvensional, dan keragaman sosial kontemporer.
Dengan demikian, density map mengungkapkan bahwa literatur ijtihad masih sangat terfokus pada aspek hukum klasik, sedangkan pendekatan baru yang mengaitkan ijtihad dengan tantangan global seperti AI, gender, dan pluralitas sosial masih bersifat sporadis dan belum terbangun sebagai kajian mapan. Kondisi ini membuka peluang luas bagi para peneliti untuk mengisi kekosongan tersebut dan mendorong ijtihad menjadi kerangka pemikiran Islam yang lebih adaptif, inklusif, dan relevan dengan zaman.
Celah PenelitianIjtihad
Berdasarkan hasil analisis bibliometrik dan visualisasi kepadatan topik, ditemukan sejumlah celah penelitian (research gap) dalam kajian ijtihad yang dapat menjadi perhatian utama untuk pengembangan riset di masa depan. Pertama, masih terdapat dominasi kuat pada kajian-kajian klasik, terutama yang berfokus pada fatwa, fiqh, ushul fiqh, dan maqashid al-shari’ah. Hal ini menunjukkan bahwa ijtihad masih diperlakukan sebagai wacana hukum tradisional, sementara eksplorasi terhadap konteks digital, pluralitas sosial, dan tantangan globalisasi masih sangat terbatas.
Kedua, integrasi antara ijtihad dan perkembangan teknologi mutakhir seperti kecerdasan buatan (AI) dan digitalisasi masih belum berkembang secara signifikan. Meskipun telah muncul beberapa node penting seperti generative AI, transparent AI, dan authority of AI, posisi istilah-istilah ini dalam peta masih berada di zona biru dengan kepadatan rendah. Ini mengindikasikan bahwa belum ada kerangka konseptual yang matang mengenai “ijtihad digital”, terutama dalam merespons fenomena big data, machine learning, serta tantangan etika teknologi.
Ketiga, dalam hal gender dan inklusivitas, terlihat munculnya topik seperti women’s ijtihad, islamic feminism, dan queer muslims. Namun, topik-topik ini masih bersifat periferal, kecil, dan kurang terhubung secara sistematis dengan node utama. Hal ini mengindikasikan bahwa peran perempuan dan kelompok marginal dalam konstruksi hukum Islam melalui ijtihad masih belum banyak diteliti, baik dalam aspek epistemologi, metodologi, maupun praksis sosialnya.
Keempat, respon ijtihad terhadap krisis global juga masih minim. Meskipun tema seperti covid-19, climate change, dan humanitarian issues mulai muncul pada fase terbaru (2021–2023), kajian tersebut belum mendalam atau berkembang secara struktural. Ini menunjukkan bahwa potensi ijtihad sebagai solusi syariah terhadap problem kemanusiaan dan krisis global, seperti pandemi, krisis iklim, dan pelanggaran HAM, masih perlu dieksplorasi secara lebih kritis dan aplikatif.
Terakhir, meskipun muncul beberapa istilah yang mencerminkan konteks lokal Indonesia, seperti fiqh nusantara, pesantren, Nahdlatul Ulama, dan Muhammadiyah, keterkaitannya masih bersifat lokalistik dan belum dikembangkan dalam kerangka perbandingan global. Artinya, masih terdapat kekurangan dalam studi yang mengkomparasikan ijtihad di Indonesia dengan praktik di dunia Islam lainnya, baik dari sisi metodologi, respons sosial, maupun konstruksi institusional.
Secara keseluruhan, celah-celah ini menunjukkan kebutuhan mendesak untuk memperluas cakupan riset ijtihad ke ranah digital, global, dan inklusif, guna menjawab tantangan zaman dengan pendekatan yang adaptif dan multidisipliner.
Novelty Kebaharuan Rasionalisme
Berdasarkan identifikasi celah penelitian yang ada, terdapat sejumlah kebaruan (novelty) yang berpotensi dikembangkan dalam kajian ijtihad, terutama untuk menjawab tantangan zaman secara lebih relevan, transformatif, dan aplikatif.
Pertama adalah pengembangan ijtihad digital, yakni formulasi metodologi ijtihad yang mampu merespons persoalan baru dalam lanskap digital, seperti AI ethics, big data, ekonomi digital, hingga blockchain finance. Dalam konteks ini, ijtihad tidak hanya direduksi sebagai respons terhadap perubahan sosial, tetapi juga dikembangkan menjadi sebuah disiplin baru dalam fiqh kontemporer yang menjembatani syariat dengan etika dan sistem teknologi modern. Ijtihad digital menawarkan landasan normatif yang berbasis maqashid dalam menjawab dilema-dilema etis dan hukum dari revolusi digital.
Kedua, munculnya wacana ijtihad gender inklusif perlu diarusutamakan. Hal ini melibatkan integrasi antara maqashid al-shari’ah, khususnya prinsip keadilan (al-‘adl) dan pemeliharaan martabat manusia (hifz al-nafs), dengan gender justice dan Islamic feminism. Kebaruannya terletak pada pendekatan ijtihad yang secara tegas menegaskan kesetaraan gender, perlindungan perempuan, dan keadilan sosial, serta menolak bias patriarkal dalam konstruksi fiqh klasik.
Ketiga, terdapat potensi besar dalam merumuskan ijtihad global-responsif, yaitu kajian ijtihad yang secara aktif merespons isu-isu krisis global seperti pandemi, perubahan iklim, degradasi lingkungan, dan konflik kemanusiaan. Dalam pendekatan ini, ijtihad diposisikan sebagai kerangka etis-hukum Islam lintas batas, yang mampu menyumbang perspektif moral dan hukum terhadap problematika global melalui prinsip-prinsip universal maqashid.
Keempat adalah pengembangan pendekatan ijtihad lokal–kontekstual versus global, melalui studi komparatif antara praktik ijtihad yang berbasis Indonesia, seperti fiqh nusantara, pesantren, Nahdlatul Ulama, dan Muhammadiyah, dengan model ijtihad di wilayah lain seperti Timur Tengah, Afrika, atau komunitas Muslim di Barat. Ini menjadi penting untuk membangun kontribusi khas Indonesia dalam wacana Islam global, sekaligus menegaskan pluralitas pendekatan dalam konstruksi hukum Islam.
Kelima, arah kebaruan yang sangat potensial adalah penguatan ijtihad interdisipliner. Yakni, menjadikan ijtihad sebagai pendekatan epistemologis yang dapat diintegrasikan dengan disiplin non-hukum seperti sosiologi, ekonomi, politik, pendidikan, dan psikologi. Pendekatan ini membuka jalan bagi formulasi hukum Islam yang tidak hanya bersifat tekstual, tetapi juga mempertimbangkan realitas empiris dan dinamika sosial kontemporer. Dengan demikian, ijtihad bukan hanya alat legislasi keagamaan, tetapi juga kerangka reflektif-interdisipliner yang menjembatani tradisi hukum Islam dengan keilmuan modern.
Secara keseluruhan, novelty-novelty ini menegaskan perlunya ijtihad untuk keluar dari wilayah klasiknya, dan tampil sebagai metode yang dinamis, kontekstual, dan progresif dalam menjawab tantangan zaman digital, global, dan multikultural.
file pdf dapat diunduh disini