Bibliometrik Feminisme

Dalam beberapa dekade terakhir, tema feminisme telah menjadi salah satu topik yang semakin menonjol dalam diskursus akademik lintas disiplin. Perkembangan isu-isu kesetaraan gender, peran perempuan dalam masyarakat, serta kritik terhadap sistem patriarki telah mendorong peningkatan signifikan dalam publikasi ilmiah yang membahas berbagai aspek feminisme. Perkembangan ini tidak hanya terjadi dalam bidang kajian gender atau ilmu sosial, tetapi juga merambah ke ranah hukum, politik, sastra, media, hingga studi budaya.

Untuk memperoleh pemahaman yang lebih sistematis mengenai perkembangan dan arah penelitian feminisme dalam literatur ilmiah global, dilakukanlah analisis bibliometrik terhadap publikasi ilmiah yang terindeks dalam Scopus, salah satu pangkalan data jurnal ilmiah terbesar dan paling bereputasi di dunia. Analisis bibliometrik merupakan metode kuantitatif yang memungkinkan penelusuran tren, kolaborasi, serta dampak dari publikasi ilmiah berdasarkan metadata seperti jumlah sitasi, kata kunci, penulis, dan institusi.

Dalam studi ini, data diambil dari Scopus dengan menggunakan kata kunci yang berkaitan dengan feminism dan variannya, mencakup kurun waktu 10 tahun terakhir (2015–2025). Dari hasil penelusuran awal, diperoleh sebanyak 200 publikasi ilmiah. Selanjutnya, dilakukan proses penyaringan untuk memilih publikasi yang paling relevan dan memiliki jumlah sitasi terbanyak, dengan tujuan menyoroti karya-karya yang memiliki pengaruh besar dalam pengembangan wacana feminisme. Berdasarkan kriteria tersebut, dipilih 112 artikel sebagai basis utama untuk dianalisis lebih lanjut.

Network Visualization Feminisme

Visualisasi jaringan (network visualization) terhadap publikasi ilmiah bertema feminisme mengungkapkan struktur keterkaitan konseptual yang kompleks dalam studi feminisme kontemporer. Dalam jaringan tersebut, kata kunci “feminism” muncul sebagai simpul pusat (central node) dengan konektivitas paling luas, menandakan posisinya sebagai tema utama yang menjadi titik acuan bagi berbagai topik turunannya. Dari simpul ini terbentuk sejumlah cluster tematik yang merepresentasikan arah, fokus, serta dinamika perkembangan kajian feminisme dalam satu dekade terakhir.

1. Cluster Digital dan Popular Feminism

Cluster yang ditandai dengan warna hijau–biru ini mengelompokkan sejumlah konsep seperti digital feminism, popular feminism, Instagram activism, dan corporate feminism, yang berjejaring erat dengan istilah seperti celebrity feminism dan media culture. Temuan ini menunjukkan bahwa sebagian besar penelitian terkini memusatkan perhatian pada bagaimana feminisme dimediasi melalui budaya populer dan media digital, khususnya dalam konteks representasi di platform sosial. Selain itu, kemunculan kata kunci seperti intersectional feminism dan feminist identity menandakan bahwa dinamika identitas feminis kini sangat dipengaruhi oleh keterlibatan dalam ruang-ruang digital, yang tidak hanya menjadi arena representasi, tetapi juga tempat artikulasi pengalaman dan perjuangan.

2. Cluster Gender, Post-feminism, dan Konteks Global

Cluster berwarna kuning–oranye ini mencerminkan fokus kajian feminisme dalam konteks lintas wilayah dan transnasional. Keterkaitan antara kata kunci seperti gender, gender diversity, dan post-feminism, serta penyebutan konteks negara seperti China dan Indonesia, mengindikasikan adanya perhatian terhadap bagaimana feminisme berkembang dalam kerangka politik dan budaya yang berbeda-beda. Penelitian dalam cluster ini banyak mengulas tantangan struktural, ketimpangan gender, serta respons feminisme terhadap dinamika lokal dan global, termasuk dalam hubungan dengan kebijakan negara, agama, dan norma sosial.

3. Cluster Misogyny dan Antifeminism

Dengan warna ungu, cluster ini memperlihatkan relasi antara feminisme dengan bentuk-bentuk perlawanan terhadapnya. Kata kunci misogyny dan antifeminism membentuk simpul-simpul yang kuat, menunjukkan adanya peningkatan perhatian akademik terhadap resistensi terhadap gerakan feminis, baik dalam bentuk ekspresi budaya, politik identitas, maupun ideologi patriarki yang termanifestasi dalam ruang digital maupun institusional. Kajian dalam cluster ini umumnya bersifat kritis dan reflektif, berupaya memahami bentuk-bentuk backlash dan strategi diskursif yang digunakan untuk mendeligitimasi feminisme.

4. Cluster Feminist Activism dan Neoliberal Feminism

Cluster berwarna merah ini berfokus pada isu feminist activism, radical feminism, neoliberal feminism, dan state feminism, yang secara keseluruhan mengangkat ketegangan antara feminisme akar rumput dengan feminisme yang mengalami kooptasi oleh sistem kapitalisme dan negara. Konsep seperti gender and consumer culture, middle-class women, dan self-investment menyoroti bagaimana feminisme kadang dimanfaatkan dalam kerangka pasar dan konsumsi, sehingga memunculkan kritik terhadap bentuk feminisme yang terjebak dalam logika individualisme neoliberal. Dalam cluster ini, muncul dinamika antara perjuangan kolektif dan narasi individual, antara perubahan struktural dan strategi representasional.

5. Cluster Digital Feminist Activism dan Affective Politics

Cluster coklat ini mencerminkan arah baru dalam studi feminisme digital, yang tidak hanya menekankan pada aspek struktural atau organisasi, tetapi juga pada dimensi emosional dan afektif dari gerakan feminis. Hubungan erat antara digital feminist activism dan affective politics menunjukkan bahwa kampanye feminis melalui media sosial seringkali mengandalkan narasi personal, pengalaman emosional, dan strategi mobilisasi perasaan, seperti melalui kampanye tagar, kisah korban, dan bentuk solidaritas digital. Hal ini menandai munculnya pendekatan baru dalam kajian aktivisme feminis yang lebih memperhatikan peran afeksi dalam proses politik.

Secara keseluruhan, peta visual jaringan ini mengindikasikan adanya fragmentasi sekaligus interkoneksi dalam kajian feminisme kontemporer. Penelitian tidak hanya berkutat pada isu arus utama seperti gender equality dan empowerment, tetapi juga berkembang ke arah kajian yang lebih kontekstual dan interdisipliner, termasuk dalam domain budaya populer, ruang digital, serta politik afektif. Pada saat yang sama, muncul pula perhatian terhadap tantangan internal gerakan feminis, seperti kooptasi oleh kapitalisme (neoliberal feminism), serta tekanan eksternal berupa resistensi sosial dan politik terhadap feminisme (antifeminism, misogyny).

Dengan demikian, struktur jaringan ini memperlihatkan bahwa riset feminisme dalam dekade terakhir bergerak secara dinamis, tidak hanya mengembangkan teori-teori besar, tetapi juga mengakomodasi praktik-praktik kontemporer dalam budaya digital, kehidupan sehari-hari, serta wacana politik lokal dan global. Analisis ini juga membuka ruang bagi refleksi kritis terhadap arah perkembangan feminisme ke depan: bagaimana menjaga keberlanjutan gerakan tanpa kehilangan radikalisme, dan bagaimana membangun solidaritas transnasional dalam menghadapi tantangan yang semakin kompleks.

Overlay Visualization Feminisme

Overlay visualization dalam analisis bibliometrik berfungsi untuk memetakan perkembangan temporal dari suatu bidang kajian berdasarkan kemunculan kata kunci dalam rentang waktu tertentu. Dalam konteks penelitian feminisme, visualisasi ini menyajikan evolusi tematik selama periode 2016 hingga 2024, dengan gradasi warna yang merepresentasikan waktu: warna biru tua–ungu untuk tema yang muncul lebih awal, hingga warna hijau–kuning terang untuk tema yang lebih baru.

1. Tema Awal (2016–2018): Fondasi Konseptual dan Teoretis

Pada fase awal ini, visualisasi menunjukkan dominasi kata kunci seperti post-feminism, intersectional feminism, feminist historiography, dan gender inequality. Warna biru tua dan ungu menandakan bahwa tema-tema ini muncul pada awal periode analisis. Kajian feminisme pada saat ini cenderung bersifat konseptual, dengan fokus pada pembentukan fondasi teoretis serta pendekatan analitis terhadap struktur ketimpangan gender, sejarah gerakan feminis, dan kerangka interseksionalitas. Penelitian dalam fase ini banyak berkontribusi pada pematangan diskursus feminisme di ranah akademik, terutama dalam menjelaskan dinamika kekuasaan berbasis gender.

2. Periode Transisi (2019–2021): Pergeseran ke Media dan Budaya Populer

Memasuki tahun 2019 hingga 2021, terjadi pergeseran fokus kajian menuju tema-tema yang lebih terkait dengan budaya populer dan media digital. Warna biru muda hingga hijau pada visualisasi menunjukkan meningkatnya perhatian terhadap konsep seperti digital feminism, celebrity feminism, popular feminism, dan media culture. Periode ini menandai transisi penting dalam penelitian feminisme, dari kerangka konseptual ke arah kajian empirik terhadap representasi feminisme di media massa dan platform digital. Feminisme tidak lagi hanya dibahas sebagai teori, tetapi juga sebagai praktik budaya yang hadir dalam kehidupan sehari-hari, termasuk melalui tokoh publik, industri hiburan, dan jejaring sosial.

3. Tema Kontemporer (2022–2024): Digital Activism dan Politik Afektif

Tema-tema yang muncul paling mutakhir, ditandai dengan warna hijau terang hingga kuning, mencakup topik seperti Instagram activism, digital feminist activism, dan affective politics. Ini menunjukkan bahwa fokus penelitian feminisme terkini bergeser ke arah studi mengenai praktik aktivisme feminis berbasis platform digital serta bagaimana afeksi, emosi, empati, dan pengalaman personal, menjadi dimensi penting dalam mobilisasi sosial. Media sosial tidak hanya menjadi ruang distribusi wacana feminis, tetapi juga menjadi arena strategis untuk kampanye, solidaritas, dan resistensi. Selain itu, munculnya topik antifeminism dalam tahun-tahun terakhir mencerminkan peningkatan perhatian terhadap bentuk-bentuk penolakan terhadap feminisme di ruang publik digital, yang menunjukkan adanya dinamika konflik dan negosiasi dalam arena tersebut.

Evolusi ini mencerminkan bahwa arah riset feminisme semakin bergerak dari abstraksi teoritis menuju eksplorasi praktik sosial yang nyata dan kontekstual, khususnya dalam ruang digital yang kini menjadi medan penting bagi pertarungan ideologi, ekspresi identitas, dan perjuangan keadilan gender. Dengan demikian, overlay visualization tidak hanya menggambarkan perubahan dalam kata kunci, tetapi juga menunjukkan transformasi mendasar dalam pendekatan dan orientasi penelitian feminisme kontemporer.

Density Visualization Feminisme

Density visualization merupakan representasi visual yang menggambarkan tingkat konsentrasi atau kepadatan kemunculan kata kunci dalam jaringan penelitian. Warna kuning terang menunjukkan area dengan intensitas penelitian tertinggi (hotspot), sedangkan warna biru menandakan konsentrasi yang lebih rendah. Dalam konteks kajian feminisme, visualisasi ini memberikan gambaran mengenai fokus tematik yang paling banyak diteliti dalam satu dekade terakhir, serta bagaimana tema-tema tersebut membentuk lanskap keilmuan feminisme kontemporer.

1. Pusat Utama: Feminism sebagai Inti Konseptual

Kata kunci feminism muncul sebagai simpul dengan warna kuning paling terang di pusat peta, menandakan posisinya sebagai pusat gravitasi konseptual dalam penelitian. Sekitarnya dipenuhi oleh kata kunci seperti feminist historiography, feminist memory, Indonesia, dan alias grace. Keberadaan kata-kata ini menunjukkan bahwa penelitian feminisme tidak hanya berakar pada teori dan wacana akademik, tetapi juga menelusuri jejak historis, representasi kultural, serta konteks sosial tertentu, khususnya dalam ruang kajian wilayah seperti Indonesia. Fokus pada historiografi dan memori feminis menunjukkan adanya perhatian pada narasi sejarah dan pengalaman perempuan yang sebelumnya terpinggirkan.

2. Hotspot Digital Feminism dan Budaya Populer

Area padat berikutnya terbentuk di sekitar tema digital feminism, popular feminism, Instagram activism, celebrity feminism, dan media culture. Kepadatan ini menunjukkan bahwa ranah digital dan budaya populer menjadi pusat perhatian utama dalam kajian feminisme kontemporer. Penelitian dalam domain ini banyak mengeksplorasi bagaimana feminisme dimediasi oleh platform digital, bagaimana figur publik merepresentasikan nilai-nilai feminis, serta bagaimana media sosial digunakan sebagai alat advokasi, mobilisasi, dan pembentukan identitas feminis. Hal ini juga menandai pergeseran dari wacana abstrak menuju praktik feminisme dalam kehidupan sehari-hari yang berbasis media.

3. Hotspot Gender, Misogyny, dan Antifeminism

Kata kunci seperti gender, gender diversity, gender inequality, misogyny, dan antifeminism muncul dalam area dengan kepadatan tinggi, menunjukkan perhatian akademik yang besar terhadap isu-isu ketimpangan gender dan resistensi terhadap feminisme. Penelitian pada bagian ini banyak membahas dimensi struktural maupun kultural dari diskriminasi berbasis gender, serta bentuk-bentuk perlawanan terhadap gerakan feminis di berbagai ranah, termasuk di ruang digital, institusi politik, dan budaya populer. Kehadiran antifeminism sebagai hotspot mengindikasikan adanya dinamika kontestasi wacana yang semakin signifikan dalam diskursus publik.

4. Hotspot Aktivisme dan Neoliberalisme

Area lain yang menunjukkan tingkat kepadatan tinggi terletak di sekitar kata kunci seperti feminist activism, radical feminism, neoliberal feminism, state feminism, middle-class women, dan consumer culture. Pusat-pusat ini menggambarkan ketegangan dalam gerakan feminisme kontemporer, antara aktivisme akar rumput dan feminisme yang terinstitusionalisasi atau diserap oleh logika neoliberal. Penelitian dalam cluster ini mengeksplorasi bagaimana feminisme kadang dipraktikkan dalam bentuk-bentuk yang kompatibel dengan sistem kapitalis, seperti self-investment dan konsumerisme perempuan kelas menengah, yang kemudian menimbulkan kritik terhadap bentuk feminisme yang dianggap “terjinakkan.”

5. Hotspot Post-feminism dan Politik Afektif

Area dengan kepadatan cukup tinggi juga terlihat pada tema post-feminism, digital feminist activism, dan affective politics. Ini menunjukkan bahwa terdapat minat penelitian yang cukup intens terhadap dimensi reflektif dalam feminisme, baik sebagai bentuk kritik terhadap feminisme generasi sebelumnya (post-feminism), maupun sebagai cara memahami aktivisme feminis yang berbasis emosi, pengalaman personal, dan afeksi. Fokus pada affective politics memperlihatkan bagaimana gerakan feminis kini tidak hanya beroperasi pada level struktural atau diskursif, tetapi juga menyentuh aspek psikologis dan emosional yang membentuk solidaritas serta daya tarik gerakan di ruang digital.

Keseluruhan struktur ini menunjukkan bahwa kajian feminisme tidak hanya terus berkembang, tetapi juga semakin kompleks dan multidimensional. Fokus penelitian telah bergerak melampaui batas-batas akademik menuju ruang sosial yang nyata, di mana feminisme diperdebatkan, dipraktikkan, direpresentasikan, dan juga ditantang secara aktif. Density visualization ini dengan demikian menyediakan peta konseptual yang kaya untuk memahami arah dan intensitas perkembangan feminisme kontemporer.

Celah Penelitian Feminisme

Berdasarkan analisis bibliometrik melalui network, overlay, dan density visualization, terdapat sejumlah celah penelitian yang menonjol dalam literatur feminisme selama satu dekade terakhir. Meskipun kajian feminisme mengalami perkembangan yang signifikan, beberapa aspek penting masih kurang dieksplorasi secara mendalam, baik dari segi konteks geografis, interseksionalitas isu, pendekatan afektif, maupun dinamika resistensi terhadap feminisme.

1. Dominasi Konteks Global (Barat) dan Minimnya Perspektif Lokal

Meskipun ditemukan sejumlah kata kunci seperti China, Indonesia, dan El Salvador, sebagian besar publikasi masih berpusat pada konteks global, khususnya dunia Barat. Hal ini menunjukkan bahwa wacana feminisme masih sangat didominasi oleh narasi dan pengalaman feminis di negara-negara maju, sementara konteks lokal di kawasan Global Selatan, termasuk Asia Tenggara, masih relatif terpinggirkan. Terutama dalam isu digital activism, representasi budaya lokal, dan relasi feminisme dengan kebijakan publik di Indonesia, masih sangat minim dijadikan fokus utama dalam penelitian. Dengan demikian, diperlukan studi yang secara serius mengangkat dinamika feminisme di kawasan Asia Tenggara, tidak hanya sebagai objek perbandingan, tetapi sebagai pusat produksi pengetahuan feminis yang khas dan kontekstual.

2. Interseksionalitas yang Belum Terintegrasi secara Komprehensif

Kata kunci intersectional feminism memang muncul dalam jaringan tematik, namun keterhubungannya dengan topik-topik penting seperti digital activism, neoliberal feminism, atau media culture masih lemah. Hal ini mengindikasikan bahwa pendekatan interseksional masih sering berdiri sendiri dan belum secara maksimal diintegrasikan dalam kajian feminisme kontemporer, khususnya dalam konteks ruang digital. Celah ini memperlihatkan kurangnya eksplorasi atas bagaimana isu-isu feminisme berinterseksi secara kompleks dengan kelas sosial, agama, etnisitas, usia, atau bahkan ekologi, terutama dalam praktik online seperti aktivisme berbasis media sosial. Padahal, pemahaman yang lebih dalam terhadap dimensi interseksional dapat memperkaya analisis feminis kontemporer dan memperluas ruang keberpihakan gerakan.

3. Politik Afektif sebagai Area Baru yang Minim Eksplorasi

Tema affective politics dan affective practices baru muncul dalam klaster kecil dan masih jarang dikaji secara mendalam. Padahal, dalam era media sosial yang sangat dipengaruhi oleh dinamika emosi dan afeksi, pemahaman terhadap peran emosi, seperti empati, trauma, kemarahan, atau solidaritas emosional, menjadi sangat penting dalam menjelaskan keberhasilan atau kegagalan gerakan feminis digital. Oleh karena itu, terdapat kebutuhan akan riset yang mengeksplorasi bagaimana perasaan dikonstruksi, disebarkan, dan dimobilisasi dalam kampanye feminis daring. Penelitian ini tidak hanya penting secara teoretis, tetapi juga strategis untuk memahami daya tarik emosional feminisme di ruang publik digital.

4. Resistensi terhadap Feminisme Kurang Mendapat Perhatian

Walaupun tema antifeminism dan misogyny muncul sebagai bagian dari peta tematik, sebagian besar penelitian masih berfokus pada dinamika internal gerakan feminis. Sementara itu, bentuk-bentuk resistensi terhadap feminisme, khususnya di ruang digital, belum banyak dikaji secara kritis. Minimnya riset mengenai bagaimana kelompok anti-feminis beroperasi, termasuk penggunaan bots, hate speech, dan strategi disinformasi, menyebabkan kurangnya pemahaman tentang ancaman nyata terhadap keberlangsungan dan keamanan aktivisme feminis daring. Penelitian pada bidang ini penting untuk mengembangkan strategi responsif yang dapat melindungi aktivis serta menjaga ruang digital tetap inklusif dan aman.

5. Kritik terhadap Neoliberalisme dan Komodifikasi Feminisme yang Masih Dangkal

Meskipun kata kunci seperti celebrity feminism, corporate feminism, dan consumer culture muncul secara dominan dalam klaster terkait, sebagian besar penelitian dalam topik ini cenderung bersifat deskriptif. Kajian kritis yang membongkar bagaimana feminisme dikomodifikasi oleh kapitalisme digital, diserap ke dalam logika algoritmik media sosial, atau dilembagakan dalam bentuk state feminism masih relatif terbatas. Padahal, fenomena seperti feminisme yang dikemas sebagai gaya hidup (lifestyle feminism) atau digunakan sebagai alat branding perusahaan membutuhkan kajian mendalam untuk mengungkap konsekuensi ideologis dan politisnya. Riset semacam ini dibutuhkan untuk menilai sejauh mana feminisme masih mempertahankan daya kritisnya dalam menghadapi kooptasi neoliberal.

Dengan mengidentifikasi berbagai celah penelitian di atas, terbuka ruang yang luas bagi pengembangan kajian feminisme ke depan, terutama melalui pendekatan yang lebih kontekstual, interseksional, dan kritis terhadap dinamika afektif maupun struktural. Penelitian feminisme masa depan diharapkan tidak hanya mereplikasi narasi dominan, tetapi juga menciptakan wacana baru yang lebih inklusif, reflektif, dan relevan dengan tantangan sosial budaya kontemporer.

Novelty KebaharuanFeminisme

Berdasarkan identifikasi peta tematik dan celah penelitian yang terungkap melalui analisis bibliometrik, terdapat sejumlah potensi kebaruan (novelty) yang dapat dikembangkan untuk memperluas, memperdalam, dan mengontekstualisasi studi feminisme kontemporer, terutama dalam kaitannya dengan dinamika digital, afeksi, interseksionalitas, dan resistensi ideologis.

1. Digital Feminism dalam Konteks Lokal dan Global Selatan

Sebagian besar kajian digital feminism masih berpusat pada pengalaman feminis di Barat. Sementara itu, praktik aktivisme feminis di Indonesia dan kawasan Asia Tenggara masih belum banyak dipetakan secara sistematis. Penelitian yang mengangkat dinamika lokal, seperti Instagram activism di Indonesia, kampanye feminis berbasis komunitas, atau penggunaan media sosial dalam konteks sosial-politik yang unik, berpeluang besar memperkaya literatur feminisme global.

Kebaruan: Menghubungkan praktik feminisme digital lokal dengan diskursus global, serta menyoroti perbedaan dan kesamaan dalam bentuk, strategi, dan resistensinya. Pendekatan ini dapat menghasilkan model glocal feminism yang kontekstual namun relevan dalam kerangka global.

2. Interseksionalitas dan Platformisasi

Sejauh ini, pendekatan intersectionality, yang melibatkan kelas, etnisitas, dan agama, masih jarang dikaitkan langsung dengan fenomena platformization di media sosial seperti Instagram, TikTok, atau X (Twitter). Padahal, logika algoritmik dari platform-platform ini sangat mempengaruhi siapa yang terlihat (visibility) dan siapa yang terpinggirkan (invisibility), termasuk dalam gerakan feminis.

Kebaruan: Mengembangkan analisis interseksional yang mempertimbangkan bagaimana sistem digital (algoritme, affordances platform) secara struktural membentuk representasi dan partisipasi kelompok perempuan tertentu. Hal ini dapat mengarah pada konsep baru seperti platformed intersectionality.

3. Politik Afektif dalam Feminisme Era Media Sosial

Topik affective politics masih merupakan medan kajian baru dalam feminisme digital. Studi-studi ke depan dapat menelusuri bagaimana emosi, seperti trauma, kemarahan, harapan, dan solidaritas, diproduksi, dikomunikasikan, dan dimobilisasi melalui kampanye feminis daring. Dalam era di mana narasi personal dan pengalaman afektif menjadi strategi utama gerakan sosial, penting untuk menjadikan afeksi sebagai variabel analitis utama.

Kebaruan: Menjadikan dimensi afeksi sebagai pendekatan kritis dalam studi feminisme digital, yang dapat melahirkan pemahaman baru tentang kekuatan emosional dalam mobilisasi sosial dan perubahan budaya.

4. Studi Counter-Movement: Antifeminism dan Misogyny Digital

Sebagian besar penelitian feminisme masih berfokus pada penguatan gerakan, namun resistensi terhadap feminisme, terutama di ruang digital, belum banyak dikaji secara mendalam. Penelitian mendatang dapat berfokus pada strategi kelompok anti-feminis, seperti penggunaan astroturfing, bots, ujaran kebencian, hingga disinformasi, serta bagaimana komunitas feminis menanggapi dan membangun daya tahan (resilience).

Kebaruan: Mengembangkan model “digital contention” yang memperlihatkan dinamika konflik antara feminisme dan antifeminisme dalam konteks teknologi digital. Kajian ini penting untuk memahami lanskap ideologis yang saling bersaing di media sosial.

5. Neoliberalisme dan Komodifikasi Feminisme dalam Ekonomi Digital

Sementara celebrity feminism dan corporate feminism sudah sering muncul dalam literatur, pembahasannya masih cenderung deskriptif. Kajian mendatang dapat lebih kritis dalam menelaah bagaimana kapitalisme digital, melalui budaya influencer, sistem monetisasi, dan algoritme platform, telah merekonstruksi makna dan fungsi feminisme dalam masyarakat digital.

Kebaruan: Mengembangkan konsep seperti algorithmic feminism atau platformed feminism, yang menyoroti bagaimana feminisme diproses, dikomodifikasi, dan bahkan diredam oleh logika digital-ekonomi. Pendekatan ini membuka ruang untuk analisis kritis atas hubungan antara ideologi pasar, performativitas feminis, dan kekuasaan algoritmik.

Berbagai kebaruan di atas tidak hanya berkontribusi terhadap pengembangan teori feminisme digital, tetapi juga menawarkan pendekatan kritis terhadap transformasi sosial budaya yang sedang berlangsung. Penelitian feminisme ke depan perlu merangkul kompleksitas baru, baik dalam hal geografis, struktural, emosional, maupun digital, untuk memastikan bahwa gerakan dan wacana feminis tetap relevan, inklusif, dan transformatif dalam menghadapi tantangan abad ke-21.

file pdf download disini