Perkembangan teknologi digital dalam satu dekade terakhir telah membawa transformasi signifikan dalam praktik diplomasi internasional. Konsep digital diplomacy atau diplomasi digital muncul sebagai respons atas kemajuan teknologi komunikasi yang memungkinkan aktor-aktor negara maupun non-negara untuk berinteraksi secara langsung melalui platform digital. Dalam konteks ini, diplomasi tidak lagi terbatas pada ruang fisik dan pertemuan formal, tetapi juga berlangsung melalui media sosial, situs web resmi, dan berbagai kanal digital lainnya. Fenomena ini telah menarik perhatian kalangan akademik, yang tercermin dari meningkatnya jumlah publikasi ilmiah terkait tema diplomasi digital.
Untuk memahami lanskap penelitian terkait digital diplomacy, dilakukan analisis bibliometrik terhadap publikasi ilmiah dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, yakni dari tahun 2015 hingga 2025. Data diperoleh melalui basis data Scopus dengan menggunakan perangkat lunak Publish or Perish, yang menghasilkan 200 dokumen jurnal sebagai hasil awal pencarian. Selanjutnya, dilakukan seleksi berdasarkan relevansi topik serta jumlah sitasi yang diterima masing-masing dokumen. Dari proses ini, diperoleh 97 dokumen yang dianggap paling representatif untuk dianalisis lebih lanjut.
Analisis bibliometrik dilakukan untuk mengidentifikasi tren penelitian, distribusi tematik, dan struktur intelektual dalam bidang diplomasi digital. Teknik yang digunakan mencakup analisis kemunculan bersama (co-occurrence analysis) terhadap kata kunci utama dalam dokumen yang terpilih. Hasil analisis kemudian divisualisasikan dalam bentuk peta bibliometrik guna mengungkap klaster utama yang mendominasi diskursus ilmiah, hubungan antar konsep, serta perkembangan topik dari waktu ke waktu.
Network Visualization Diplomasi Digital
Network visualization digunakan untuk memetakan keterhubungan antar konsep kunci dalam penelitian diplomasi digital melalui analisis co-occurrence kata kunci. Visualisasi ini menghasilkan representasi jaringan yang terdiri dari nodes (kata kunci) dan edges (garis penghubung), yang merefleksikan relasi tematik dalam korpus dokumen yang dianalisis.
Node “digital diplomacy” muncul sebagai pusat jaringan dengan ukuran terbesar, menandakan bahwa istilah ini merupakan poros utama dalam penelitian yang dianalisis. Selain itu, beberapa node besar lainnya, seperti foreign policy, international relations, dan COVID-19 diplomacy, menunjukkan bahwa tema-tema tersebut memiliki keterkaitan yang kuat dan konsisten dengan isu diplomasi digital.
Struktur jaringan memperlihatkan pembentukan beberapa kluster tematik yang ditandai dengan warna berbeda, masing-masing merepresentasikan fokus riset yang saling berkaitan:
- Kluster Hijau: Berisi topik-topik seperti social media diplomacy, agenda-building, dan diplomacy transformation. Kluster ini menunjukkan perhatian akademik terhadap peran media sosial dalam mentransformasi cara kerja diplomasi, termasuk dalam hal pencitraan negara dan pengaruh opini publik.
- Kluster Merah: Mencakup kata kunci seperti twitter communication, COVID-19, digital health diplomacy, dan advocacy campaigns. Kluster ini mengindikasikan adanya fokus kuat pada penggunaan Twitter sebagai medium diplomasi selama pandemi, serta pengaruhnya terhadap diplomasi kesehatan global.
- Kluster Biru Tua: Terpusat pada topik China digital diplomacy dan wolf warrior diplomacy, mencerminkan berkembangnya minat riset terhadap strategi diplomasi digital yang dijalankan oleh Tiongkok, termasuk gaya komunikasi yang lebih agresif di ranah internasional.
- Kluster Kuning: Mengangkat isu COVID-19 diplomacy dan keterlibatan negara dalam merespons pandemi melalui saluran diplomasi digital, memperlihatkan hubungan erat antara krisis kesehatan global dan diplomasi modern.
- Kluster Ungu: Fokus pada feminist foreign policy dan isu-isu normatif lainnya dalam diplomasi digital. Kluster ini menandakan munculnya perspektif baru yang menekankan nilai, norma, dan keadilan gender dalam kerangka kebijakan luar negeri digital.
Jaringan kata kunci dalam visualisasi ini menunjukkan keterkaitan antar kluster melalui garis-garis penghubung (edges) yang saling bersilangan. Misalnya, kata kunci digital diplomacy menunjukkan koneksi kuat dengan international relations, social media engagement, serta countering disinformation, menegaskan posisi sentralnya sebagai penghubung antara berbagai topik penelitian. Selain itu, keterkaitan antara COVID-19 diplomacy, health diplomacy, dan Twitter communication memperlihatkan integrasi antara isu kesehatan global dan diplomasi berbasis teknologi komunikasi.
Secara keseluruhan, network visualization ini memperlihatkan bahwa penelitian mengenai diplomasi digital memiliki karakter multidimensi dan interdisipliner. Topik-topik yang dianalisis mencakup:
- Aspek media sosial dan keterlibatan publik (Twitter, agenda-building, social media engagement),
- Konteks geopolitik kontemporer (China, wolf warrior diplomacy, EU foreign policy),
- Isu global aktual (COVID-19, digital health diplomacy),
- Serta pendekatan normatif baru (feminist foreign policy, countering disinformation).
Dengan demikian, peta jaringan ini menggambarkan kompleksitas dan keluasan spektrum riset yang berkembang dalam bidang diplomasi digital, yang tidak hanya mencerminkan perkembangan teknologi, tetapi juga dinamika politik global, krisis kemanusiaan, dan evolusi nilai-nilai dalam hubungan internasional.
Overlay Visualization Diplomasi Digital
Overlay visualization digunakan untuk memetakan evolusi topik penelitian digital diplomacy berdasarkan dimensi waktu publikasi. Visualisasi ini menampilkan gradasi warna sebagai indikator kronologis, mulai dari warna ungu (menunjukkan tahun-tahun awal, seperti 2016–2017) hingga kuning terang (menunjukkan publikasi terkini pada 2023–2024). Hasil visualisasi ini memungkinkan identifikasi perkembangan tematik yang terjadi dalam rentang sepuluh tahun terakhir.
Fase Awal (2016–2018 | Warna Ungu–Biru): Pada fase awal ini, fokus utama penelitian terpusat pada konsep-konsep mendasar dalam hubungan internasional dan diplomasi, seperti foreign policy, international relations, twitter communication, dan advocacy campaigns. Pola ini menunjukkan bahwa perhatian akademik masih tertuju pada pemanfaatan media sosial, terutama Twitter, sebagai alat baru dalam praktik diplomasi publik. Kajian-kajian pada periode ini cenderung bersifat eksploratif, dengan menyoroti potensi platform digital dalam memperluas jangkauan diplomasi tradisional.
Fase Transisi (2019–2020 | Warna Biru–Hijau): Memasuki fase transisi, topik penelitian mengalami perluasan dengan munculnya istilah seperti social media diplomacy, diplomacy transformation, dan countering disinformation. Pada tahap ini, para peneliti mulai mengeksplorasi dampak transformasi digital terhadap struktur dan praktik diplomasi, sekaligus mencermati tantangan baru yang muncul, seperti penyebaran disinformasi dan hoaks di ruang digital. Fenomena ini mencerminkan pergeseran dari sekadar pemanfaatan teknologi menjadi evaluasi kritis atas implikasi digitalisasi dalam tataran diplomatik.
Fase Pandemi (2020–2021 | Warna Hijau): Krisis global akibat pandemi COVID-19 memicu lonjakan penelitian terkait digital diplomacy. Topik seperti COVID-19 diplomacy, digital health diplomacy, dan kembali munculnya twitter communication menandai periode ini. Visualisasi menunjukkan intensifikasi diskursus yang mengaitkan diplomasi digital dengan isu-isu kesehatan global, respons terhadap krisis internasional, serta pentingnya komunikasi digital dalam mengatasi keterbatasan interaksi fisik antarnegara. Masa ini dapat dikatakan sebagai momentum kritis dalam redefinisi diplomasi digital sebagai alat utama dalam diplomasi krisis.
Fase Kontemporer (2022–2024 | Warna Hijau–Kuning): Pada fase kontemporer, fokus kajian bergeser ke arah isu-isu geopolitik dan teknologi mutakhir. Topik seperti China digital diplomacy, wolf warrior diplomacy, serta penerapan computer vision analysis dalam studi diplomasi mencerminkan kompleksitas dan kedalaman analisis yang berkembang. Selain itu, muncul pula pendekatan normatif yang lebih beragam, misalnya melalui lensa feminist foreign policy. Warna kuning terang pada peta visual menunjukkan bahwa isu-isu ini merupakan topik yang sangat aktual dan menjadi tren riset utama dalam beberapa tahun terakhir.
Secara keseluruhan, overlay visualization ini menggambarkan dinamika evolusi penelitian diplomasi digital selama satu dekade terakhir. Pada mulanya, fokus utama berada pada pemanfaatan media sosial dalam konteks diplomasi publik. Seiring waktu, perhatian beralih pada tantangan dan risiko digitalisasi, khususnya disinformasi. Periode pandemi menjadi titik balik yang memperluas cakupan penelitian menuju isu kesehatan global. Kini, tema-tema terkini mengarah pada konteks geopolitik yang kompleks, integrasi teknologi canggih, dan pendekatan multidisipliner yang lebih kritis terhadap praktik diplomasi digital di era kontemporer.
Density Visualization Diplomasi Digital
Density visualization digunakan untuk menggambarkan tingkat kepadatan penelitian berdasarkan frekuensi kemunculan dan keterhubungan kata kunci dalam literatur ilmiah. Dalam visualisasi ini, area dengan warna kuning terang menunjukkan konsentrasi tinggi kata kunci yang sering muncul dan saling terhubung, sementara area berwarna hijau hingga biru merepresentasikan tingkat kepadatan yang lebih rendah dan keterhubungan yang terbatas.
Kata kunci digital diplomacy muncul sebagai pusat kepadatan tertinggi dengan warna kuning terang, menandakan bahwa istilah ini menjadi fokus utama dalam kajian literatur selama satu dekade terakhir. Keberadaan international relations dan foreign policy dalam lingkaran yang padat di sekitar digital diplomacy menunjukkan keterkaitan erat antara konsep diplomasi digital dengan ranah kajian hubungan internasional dan kebijakan luar negeri. Hal ini mencerminkan kecenderungan para peneliti untuk membingkai diplomasi digital sebagai bagian dari dinamika hubungan antarnegara dan strategi diplomatik nasional.
Di wilayah dengan kepadatan menengah, sejumlah kata kunci seperti COVID-19, Twitter communication, dan digital health diplomacy membentuk gugus penelitian yang cukup intensif. Hal ini mengindikasikan bahwa pandemi global telah menjadi katalis penting dalam mendorong penelitian terkait diplomasi digital, terutama dalam konteks penyebaran informasi kesehatan dan komunikasi krisis melalui media sosial. Selain itu, topik seperti social media engagement dan countering disinformation juga menunjukkan kepadatan yang signifikan, mencerminkan perhatian terhadap aspek partisipasi publik dan tantangan penyebaran misinformasi dalam lingkungan diplomasi digital.
Beberapa tema geopolitik spesifik, seperti China digital diplomacy dan wolf warrior diplomacy, muncul sebagai area dengan intensitas penelitian yang cukup terfokus, meskipun tidak sepadat pusat utama. Ini menunjukkan bahwa strategi diplomasi digital Tiongkok telah menarik perhatian akademik yang terus berkembang, terutama dalam konteks perubahan dinamika kekuatan global. Di sisi lain, topik seperti feminist foreign policy dan computer vision analysis berada di wilayah dengan kepadatan lebih rendah, menandakan bahwa isu-isu ini masih bersifat emerging dan memiliki ruang untuk eksplorasi lebih lanjut dalam masa depan penelitian.
Density visualization ini memberikan gambaran komprehensif mengenai struktur intensitas penelitian diplomasi digital. Secara garis besar, dapat diidentifikasi tiga area utama dengan tingkat kepadatan yang menonjol:
- Konseptual dan Teoritis: Digital diplomacy, international relations, foreign policy.
- Kontekstual dan Responsif: Twitter, COVID-19, digital health diplomacy, disinformation.
- Geopolitik dan Spesifik Regional: China, wolf warrior diplomacy.
Sementara itu, kemunculan topik-topik baru seperti feminist foreign policy dan pemanfaatan teknologi analisis visual (computer vision) menandakan adanya perluasan horizon penelitian menuju pendekatan yang lebih interdisipliner dan normatif.
Dengan demikian, density visualization ini tidak hanya memperlihatkan peta intensitas tematik dalam studi diplomasi digital, tetapi juga membantu mengidentifikasi celah riset potensial serta arah perkembangan bidang ini di masa mendatang.
Celah PenelitianDiplomasi Digital
Berdasarkan hasil analisis bibliometrik melalui visualisasi overlay, network, dan density, ditemukan beberapa celah penelitian yang masih terbuka luas untuk dikembangkan dalam studi diplomasi digital. Temuan ini penting untuk menyoroti arah baru yang potensial dan menghindari kejenuhan dalam topik yang telah banyak dieksplorasi.
1. Dominasi tema klasik dan konteks pandemi; Literatur yang ada menunjukkan bahwa penelitian tentang diplomasi digital masih sangat terkonsentrasi pada tema-tema klasik seperti foreign policy dan international relations, serta pada konteks pandemi global, terutama COVID-19 diplomacy dan digital health diplomacy. Meskipun penting, dominasi topik-topik ini mengindikasikan potensi kejenuhan dalam produksi pengetahuan. Diperlukan eksplorasi terhadap isu-isu baru di luar kerangka pandemi dan konsep diplomasi tradisional.
2. Fokus berlebihan pada platform media sosial mainstream; Salah satu simpul terkuat dalam visualisasi jaringan adalah Twitter communication, yang menunjukkan bahwa sebagian besar penelitian diplomasi digital masih berfokus pada platform media sosial arus utama. Hal ini menciptakan celah penelitian terhadap penggunaan platform digital yang lebih baru atau alternatif, seperti TikTok, Instagram, YouTube, Telegram, hingga platform lokal seperti Weibo. Studi mengenai karakteristik unik dan dampak diplomatik dari platform-platform ini masih sangat terbatas.
3. Keterbatasan perspektif global Selatan; Sebagian besar literatur terfokus pada negara-negara maju seperti Tiongkok, anggota Uni Eropa, dan Amerika Serikat. Kajian mengenai praktik diplomasi digital di kawasan Global South, seperti Asia Tenggara, Afrika Sub-Sahara, dan Amerika Latin, masih sangat minim. Celah ini menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih inklusif dan kontekstual, yang mempertimbangkan perbedaan infrastruktur digital, kapasitas diplomatik, dan budaya komunikasi antar kawasan.
4. Kurangnya integrasi dengan teknologi baru; Walaupun mulai muncul topik seperti computer vision analysis, keterkaitan diplomasi digital dengan teknologi disruptif lainnya seperti artificial intelligence (AI), big data analytics, blockchain, dan virtual reality (VR) atau Metaverse masih jarang ditemukan. Hal ini menjadi peluang besar untuk mengkaji bagaimana teknologi-teknologi tersebut dapat merevolusi praktik diplomasi di era digital.
5. Minimnya pendekatan normatif dan kritis; Kajian yang mengangkat pendekatan normatif-kritis seperti feminist foreign policy baru sebatas muncul secara sporadis. Aspek etika digital, keamanan siber, privasi, inklusivitas gender, serta keberlanjutan (sustainability diplomacy) belum menjadi arus utama dalam literatur. Celah ini menunjukkan pentingnya pengembangan penelitian yang mengintegrasikan dimensi normatif dalam praktik dan kebijakan diplomasi digital.
Dengan mempertimbangkan hasil visualisasi bibliometrik, dapat disimpulkan bahwa meskipun studi diplomasi digital telah mengalami perkembangan signifikan dalam satu dekade terakhir, masih terdapat sejumlah celah penting yang perlu diisi. Kajian masa depan sebaiknya diarahkan pada isu-isu baru, platform alternatif, wilayah yang kurang terwakili, teknologi mutakhir, serta pendekatan kritis yang mengedepankan etika, keadilan sosial, dan keberlanjutan.
Novelty Kebaharuan Diplomasi Digital
Berdasarkan analisis tren dan celah penelitian yang telah diidentifikasi, terdapat beberapa arah kebaruan (novelty) yang potensial untuk dikembangkan dalam studi diplomasi digital. Kebaruan ini dapat menjadi kontribusi ilmiah yang relevan secara teoritis maupun praktis dalam memahami dinamika diplomasi di era transformasi digital.
1. Pendekatan multidisipliner baru; Salah satu kebaruan utama yang dapat dikembangkan adalah penggunaan pendekatan multidisipliner, khususnya integrasi antara studi hubungan internasional dengan computational social science, digital ethnography, dan analisis komunikasi berbasis kecerdasan buatan (AI-driven communication). Pendekatan ini memungkinkan eksplorasi data digital secara lebih komprehensif dan real-time, serta dapat menangkap dinamika interaksi publik-diplomasi dalam skala yang lebih luas.
2. Fokus pada Diplomasi Digital di Global Selatan ; Literatur diplomasi digital sejauh ini masih didominasi oleh kajian dari perspektif negara-negara Barat dan Tiongkok. Oleh karena itu, pengembangan studi kasus di wilayah Global South, seperti Indonesia, negara-negara ASEAN, Afrika, dan Amerika Latin, memiliki nilai kebaruan tinggi. Kajian ini tidak hanya memperluas cakrawala geografis literatur, tetapi juga memungkinkan pemahaman yang lebih kontekstual terhadap tantangan dan strategi diplomasi digital di negara-negara berkembang.
3. Perluasan isu pasca-pandemi; Setelah masa dominasi COVID-19 diplomacy, terdapat peluang besar untuk mengarahkan fokus ke isu-isu krisis global lainnya yang semakin relevan, seperti perubahan iklim, migrasi internasional, dan keamanan energi. Kajian diplomasi digital yang mengaitkan isu-isu tersebut dalam konteks komunikasi global berbasis digital akan menjadi kontribusi penting dalam pengembangan literatur pasca-pandemi.
4. Eksplorasi platform baru dan diplomasi visual; Kebaruan juga dapat muncul dari kajian terhadap platform digital yang belum banyak dieksplorasi, seperti TikTok, Instagram Reels, YouTube Shorts, serta praktik memes diplomacy dan digital visual storytelling. Platform-platform ini menawarkan bentuk komunikasi visual yang lebih dinamis dan memiliki potensi besar dalam membentuk persepsi publik internasional secara cepat dan luas.
5. Pendekatan normatif dan kritis; Kajian diplomasi digital masih jarang mengangkat isu-isu normatif seperti kesetaraan, keadilan sosial, atau keberlanjutan. Penelitian dengan perspektif feminist digital diplomacy, inclusive digital diplomacy, dan analisis dampak diplomasi digital terhadap ketimpangan global menawarkan ruang kebaruan yang signifikan, khususnya dalam menilai dimensi etis dari penggunaan teknologi digital dalam diplomasi.
6. Teknologi emerging dalam diplomasi digital; Perkembangan teknologi baru seperti blockchain, virtual reality, augmented reality, dan metaverse membuka frontier baru dalam praktik diplomasi. Penelitian tentang blockchain for diplomacy, virtual embassies in metaverse, serta cyber diplomacy using AI tools memiliki potensi besar sebagai area kajian pionir yang menjembatani inovasi teknologi dan strategi hubungan internasional kontemporer.
Secara keseluruhan, arah kebaruan dalam penelitian diplomasi digital terletak pada pendekatan yang lebih lintas disiplin, inklusif secara geografis, adaptif terhadap perubahan global, responsif terhadap inovasi teknologi, serta sensitif terhadap isu-isu etika dan keberlanjutan. Pengembangan kebaruan ini diharapkan mampu memperkaya literatur dan mendukung praktik diplomasi yang lebih relevan di era digital yang terus berkembang.
unduh pdf disini
